Saturday, July 23, 2011

Tips Persiapan Bulan Ramadhan

Tips Persiapan Bulan Ramadhan
Pertama, I'dad Ruhi Imani, yakni persiapan ruh keimanan. Orang � orang yang saleh biasa melakukan persiapan ini seawal mungkin sebelum datang Ramadhan. Bahkan mereka sudah merindukan kedatangannya sejak bulan Rajab dan Sya'ban. Biasanya mereka berdoa : "Ya Allah, berikanlah kepada kami keberkatan pada bulan Rajab dan Sya'ban, serta sampaikanlah kami kepada Ramadhan."Dalam rangka persiapan ruh keimanan itu, dalam surah At-Taubah Allah melarang kita melakukan berbagai maksiat dan kedzhaliman sejak bulan Rajab. Tapi bukan berarti di bulan lain dibolehkan. Hal ini dimaksudkan agar sejak bulan Rajab kadar keimanan kita sudah meningkat. Boleh dikiaskan,bulan Rajab dan Sya'ban adalah masa pemanasan (warming up),sehingga ketika memasuki Ramadhan kita sudah bisa bisa menjalani ibadah shaum dan sebagainya itu bak sudah terbiasa. Kedua, adalah I'dad Jasadi, yakni persiapan fisik. Untuk memasuki Ramadhan kita memerlukan fisik yang lebih prima dari biasanya. Sebab, jika fisik lemah, bisa-bisa kemuliaan yang dilimpahkan Allah pada bulan Ramadhan tidak dapat kita raih secara optimal. Maka, sejak bulan Rajab Rasulullah dan para sahabat membiasakan diri melatih fisik dan mental dengan melakukan puasa sunnah, banyak berinteraksi dengan al-Qur'an, biasa bangun malam (qiyamul-lail), dan meningkatkan aktivitas saat berkecimpung dalam gerak dinamika masyarakat.Ketiga, adalah I'dad Maliyah, yakni persiapan harta. Jangan salah faham, persiapan harta bukan untuk membeli keperluan buka puasa atau hidangan lebaran sebagaimana tradisi kita selama ini. Memersiapkan harta adalah untuk melipatgandakan sedekah, karena Ramadhanpun merupakan bulan memperbanyak sedekah. Pahala bersedekah pada bulan ini berlipat ganda dibandingkan bulan-bulan biasa.Keempat, adalah I'dad Fikri wa Ilmi, yakni persiapan intelektual dan keilmuan. Agar ibadah Ramadhan bisa optimal, diperlukan bekal wawasan dan tashawur (persepsi) yang benar tentang Ramadhan. Caranya dengan membaca berbagai bahan rujukan dan menghadiri majelis ilmu tentang Ramadhan. Kegiatan ini berguna untuk mengarahkan kita agar beribadah sesuai tuntunan Rasulullah SAW, selama Ramadhan.  Menghafal ayat-ayat dan doa-doa yang berkait dengan perlbagai jenis ibadah, atau menguasai berbagai masalah dalam fiqh puasa, juga penting untuk dipersiapkan.Semoga persiapan kita mengantarkan ibadah shaum dan berbagai ibadah lainnya, sebagai yang terbaik dalam sejarah Ramadhan yang pernah kita lalui. Aamiin.
Sumber Tips : Panduan Ibadah Puasa Ramadhan, Badan Kebajikan Kakitangan Islam, Pembadanan Produktiviti Negara, Malaysia

Cerpen


Aku Rela

''Praaakkkkkk,'' suara buku-buku jatuh dari rak itu. Buku-buku itu berserekan di lantai. Terlihat seseorang  dari belakang rak itu tengah terlihat putus asa. Rupanya ia tengah mencari buku dan tidak berhasil ditemukannya dan akhirnya dia menjatuhkan buku-buku yang ada di rak. ''Huhhh..., dimana sih bukunya, kok nggak ketemu-ketemu. Katanya ada di rak ini. Atau jangan - jangan Jeni bohongin aku lagi, ya ampun Jeni awas ya kalau kamu bohongin aku, aku akan marah sama kamu,'' gadis itu berkata sambil mengeluh. Setelah lama mencari-cari tapi tidak ketemu juga,  akhirnya Julia meninggalkan ruangan itu tanpa membereskan buku-buku yang berserakan. Ia keluar lalu beranjak pergi ke tempat  lain. Ia menyusuri tangga menuju ke ruangan lain. Ruangan dimana ia bertemu Jeni, temannya.
''Jeni...mana katamu buku itu ada di ruangan itu tapi aku cari tidak ketemu-ketemu. Kamu bohongin aku ya Jen? Tolonglah buku itu sangat penting buatku Jen, kamu itu kan sahabatku masa sih kamu tega sama aku?'' Julia menatap Jeni dengan muka memelas. ''Masa sih ngga ada, kemarin aku lihat buku itu ada disitu. Bener deh, aku ngga bohong,''.  ''Iya tapi mana? Ngga ada Jeni...''
Akhirnya mereka berdua berniat ke ruangan itu lagi. Mereka menaiki tangga. Sampai di depan pintu mereka tercengang melihat seseorang tengah membersihkan buku-buku yang berserekan. ''Gawat..., '' ucap Julia.
 ''Jangan keras-keras,'' Jeni mencoba menenangkan Julia.
''Pasti kamu yang menjatuhkan buku-buku itu ya?'' Jeni bertanya pada Julia.
''Iya, tadi aku lupa tidak membereskannya, yaaah... pasti Pak Hendra marah banget sama aku Jen,''
''Sudah tenang aja dulu kalau Pak Hendra ngga tahu kita disini pasti beliau ngga bakalan marah kok,''
''Tapi...'' Julia khawatir.
''Udah ayo kita pergi sebelum Pak Hendra tahu kita disini,''
''Tapi...,''
''Katanya kamu ngga ingin Pak Hendra marah sama kamu,'' Jeni langsung menarik tangan Julia dan meninggalkan ruangan itu.
''Jen, kalau Pak Hendra tahu bagaimana ya, pasti aku ngga bakalan diijinin masuk keruangan itu lagi,''
''Kamu juga yang salah, makanya jadi orang itu jangan ceroboh, hati-hati kalau melakukan sesuatu, kamu tahu kan Pak Hendra kalau sudah marah?'' Jeni mencoba untuk menasehati.
''Maka dari itu aku takut, padahal buku itu...'' Julia berkata sambil memandang ke arah lapangan tapi matanya kosong.
''Jul, udahlah Jul, aku tahu kok buku itu sangat berarti bagi kamu, aku tahu. Kamu ingin baca buku itu sehingga kamu tahu sebenarnya kamu itu....maaf Jul aku tidak bermaksud menyinggung perasaan kamu,''
Julia kembali menerewang memandang dengan mata kosong. Matanya redup, mukanya penuh rasa ingin tahu dan pengharapan. Ya berharap Pak Hendra tidak marah karena ulahnya. Sehingga ia dapat masuk ke ruangan itu. Sebenernya ia sedang memberi kepercayaan kepada Pak Hendra dengan ia akan menuruti perintah Pak Hendra. sehingga ia akan lebih leluasa keluar masuk ruangan itu. Ruangan dimana terdapat berkas-berkas penting. Ruangan dimana ia dapat mengetahui, siapa sebenarnya dia. Dia yang dilahirkan dari tubuh seorang ibu bernama… ayah bernama...
Akhir-akhir ini dia tahu kalau ruangan itu dapat memberitahukannya akan siapa dirinya. Dia mengetahuinya sebenarnya tidak sengaja. Lewat pembicaraan ayah dan ibu angkatnya. Julia diangkat menjadi anak oleh mereka. orang tua angkat Julia sebenarnya sangat menyayangi Julia. Tapi apakah sebagai seorang anak tidak ingin tahu siapa sebenarnya orang tua kandungnya. Meski ia sengaja dibuang karena mungkin tidak diperlukannya. Orang tua angkat Julia berasal dari keluarga tidak mampu, mereka bekerja sebagai penjual makanan keliling. Setiap hari setelah pulang sekolah Julia membantunya dengan berkeliling menjual makanan. Hampir setiap hari ia melakukan hal tersebut. Kecuali saat tambahan pelajaran. Ia merasa bersalah sama ibunya. Tetapi ibunya berpesan jangan terlalu difikirkan. Malahan beliau sebenarnya ingin kalau Julia  harus konsen sepenuhnya dengan urusan sekolah. Ibunya ingin Julia jadi anak yang sukses, walaupun cuma ibu angkat tapi Julia menganggapnya layaknya ibu kandung. Begitu pula sebaliknya Ibu Lilis. Ibu angkatnya. Ayah angkatnya bernama Giyo. Mereka mengangkat Julia sebagai anaknya sejak Julia berumur 10 tahun saat itu Julia masih kelas 4 SD. Sebelumnya ia tinggal di panti asuhan. Panti asuhannya bernama Panti Kasih Ibu di kota Bogor. Jauh memang dari tempat sekarang ia berada yaitu di kota Majalengka sebuah kota yang sejuk dengan pemandangannya yang hijau sehingga siapa yang melihatnya hati akan terasa adem dan tentram. Di panti asuhan,  Julia sudah berteman dengan Jeni, teman karibnya. Mereka bersama dari sejak bayi. Oleh karena itu  banyak orang yang memanggil mereka sebagai saudara kembar, walaupun wajahnya tidak mirip tetapi mereka selalu bersama pergi bersama. Dan hingga sekarang ini. Saat Julia diangkat sebagai anak oleh ibu Lilis, Jeni juga diangkat sebagai anak. Orang tua angkat Jeni juga sangat menyayangi Jeni seperti Ibu Lilis mencintai Julia. Bedanya orang tua angkat Jeni mereka berasal dari keluarga yang bisa dibilang kaya raya. Ayahnya  bekerja sebagai direktur di salah satu perusahaan terkemuka di Bandung. Ayahnya memang terlalu sibuk bekerja sehingga hanya seminggu sekali ayahnya dapat pulang ke rumah. Meskipun begitu ibunya yang sebagai ibu rumah tangga sangat memperhatikan dan merawat Jeni. Walaupun telah menjadi orang kaya Jeni selalu bersikap seperti dulu kepada Julia. Ia masih saja meperhatikan Julia, membantunya berjualan. Mengerjakan PR bersama. Selalu bercerita satu sama lain tentang masalah yang sedang dihadapinya. Intinya meski mereka telah mempunyai keluarga mereka tetap selalu bersama. Sekarang mereka telah kelas 2 SMA. Mereka masih saja bersama.
''Jul...'' Jeni menepuk pundak Julia.
''Maaf Julia aku tidak bermaksud untuk membuat kamu jadi sedih seperi ini, Julia aku minta maaf,''
Julia memalingkan muka mengarah lapangan sambil tersenyum, ''Jeni…Jeni…aku ngga sedih, kamu itu yang selalu begitu setiap aku sedih pasti kamu merasa bersalah. Padahal kamu belum tentu bersalah. Dan aku belum tentu sedih, '' Julia tersenyum, sejenak Julia menghentikan ucapannya lalu, mengarahkan pandanganya ke arah seorang ibu yang menjemput anaknya, mereka bergandengan tangan, saling bercanda, si anak bersikap manja kepada sang ibu, lalu si ibu membelai rambut anaknya. Tidak lama mereka menghilang dari pandangannya.
''Aku ingin seperti mereka,'' Julia tiba-tiba memecah keheningan. Jeni memandang ke arah Julia memandang tak ada apa-apa.
''Julia…'' kata Jeni bingung.
''Iya, aku ingin seperti anak itu, bisa bergandengan tangan, bermanja-manja, dibelai, oleh ibu kandungku, tapi apakah keinginanku dapat terwujud? Apakah aku dapat memeluk ibu kandungku dan mengucapkan 'aku cinta mama'? pasti - pasti aku bisa. Allah pasti menghendaki, iya Allah kan menghendaki keingingin hamba-Nya, '' Julia bersemangat dan menghibur diri.
''Memang Allah akan menghendaki keinginan hamba-Nya kalau memang hambanya benar-benar bersungguh-sungguh. Percayalah Julia, tetapi masalahnya saat ini aku tidak melihat seorang ibu dengan seorang anak, ''
Julia tersenyum sinis, ''Memang sudah pergi dari tadi, kamu pikir aku ini gila apa?'' mereka tertawa satu sama lain.
***
Malam hari di rumah.
Julia tengah mengerjakan tugas sekolah saat ayah Julia Pak Giyo pulang. Julia langsung menyambutnya dengan muka riang. Julia langsung mencium tangan ayahnya. lalu berkata ''Ayah udah pulang, ayah gimana tadi ojeknya rame tidak?'' Julia langsung bertanya tentang pekerjaan ayahnya. Belum sempat menjawab kakak Julia, yang bernama Ross datang, lalu berkata kepada Julia
''Eh Jul, kamu tahu kan ayah itu baru pulang kerja, dan kamu tahu juga kan kalau abis kerja itu capeknya kaya apa? Setidaknya kamu hargai dong kerja keras ayah dengan memberi kesempatan untuk istirahat. Jangan malah kamu lempari dengan pertanyaanmu itu,'' Julia menundukan kepala ''Maaf kak Rose, Julia salah tidak seharusnya Julia bertanya seperti pada ayah,''
''Julia..Julia.. mau sampai kapan kamu terus bersalah kaya gitu, hampir setiap aku ngomongin kamu, kamu jawabnya juga seperti itu, kamu itu memang memang ngga tahu atau cuma pura-pura sih?''
''Heeeh, sudah-sudah kalian ini kan kakak adik sudah semestinya kalian tidak ribut dan saling menyalahkan seperti ini. Kalian itu seharusnya saling sayang menyayangi. Saling mengingatkan itu memang harus. Tapi jangan menyalahkan. Kamu juga Ross kamu kan  kakak tidak baik terus-terusan marah pada adik kamu,'' Ross tidak menjawab. Ia beranjak menuju kamarnya.
''Ayah, maafkan Julia, Yah..,'' Julia meminta maaf kepada ayahnya.
''Julia, kamu tidak salah, wajar kalau kamu bertanya seperti itu berarti kamu sayang sama ayah,'' kata ayah Julia membenarkan.
''Terus saja bela si Julia itu,'' suara Ross dari dalam kamar.
''Rossss, ayah kecewa sama kamu Ross,'' Ayah menjawab dengan nada marah dan kecewa.
***
Sinar matahari menembus kaca jendela.  Sinarnya bagai cahaya yang menerangi kegelapan menerobos setiap celah. Menerangi seluruh pernak-pernik  yang ada di kamar itu. Termasuk Julia. Ia tengah membereskan buku-buku yang ada di meja. Setelah semalam belajar, Julia lupa tidak membereskannya. Hari ini hari libur jadi ia agak santai. Meskipun hari libur ia tidak pernah bermalas-malasan. Hari ini dia berniat bermain ke rumah Jeni. Tapi minggu sore, karena pagi ia harus mencuci baju, dan setelah itu membantu ibunya berjualan. Ia sangat bersemangat kalau berniat ke rumah Jeni. Meskipun hanya bermain rasanya senang sekali bisa berjumpa dengan mama dan papa Jeni. Beliau sangat ramah. Ahh dia saja merasa sangat senang bisa berjumpa, berbincang dengannya apalagi Jeni pasti sangat bahagia bisa hidup bermesraan bersamanya. Sungguh keluarga yang sempurna penuh kebahagian dan kedekatan, pikir Julia.
Setelah mencuci baju. Julia bersiap-siap akan berkeliling menjual makanannya. Ia dibantu ibunya menata makanan yang akan dijual. Sementara Ayah Julia sudah pergi mengojek sejak masih pagi sekitar jam 6. Rutinitas seperti itulah yang menghiasi hari-hari Julia. Sedangkan kakaknya kak Ross sudah pergi ke rumah temannya. Katanya ada tugas yang harus dikerjaan secara kelompok. Setiap ibu atau ayahnya menyuruh kak Ross membantu Julia. Ia selalu sibuk. Ada-ada saja alasannya. Yang tugas lah, yang harus dikumpulin besok lah. Pokoknya macam-macam. Dan akhirnya ia tidak pernah membantu Julia sedikitpun.
Hari ini dagangan Julia laris manis. Belum juga adzan duhur dagangannya sudah habis. Tidak seperti hari-hari biasa. Biasanya dagangannya belum habis kalau belum jam 3 sore. Bahkan kadang ada yang tidak habis terjual. Hari ini memang hari yang membuatnya bahagia. ''Alhamdulillah ya Allah Engkau telah memudahkan keluarga hamba mencari rizki. Terima kasih ya Rabb,''
Karena dagangannya hari ini laku keras. Julia pun pulang lebih awal dari biasanya. Seperti biasa, ia menyetorkan semua uang hasil jualannya kepada ibunya.
''Bu, alhamdulillah hari ini makanannya habis terjual Bu,'' seru Julia.
''Benarkah? Alhamdulillah. Memang Allah itu Maha Pemurah,” ibu Julia gembira.
''Iya ya Bu..,''sahut Julia. Julia bercerita kepada ibunya saat ia tadi pagi berdagang. Katanya orang-orang banyak yang tidak masak. Jadi banyak orang yang membeli makanan Julia. Selain itu masakan ibu Julia juga memang terasa lezat di lidah. Tidak salah banyak orang yang membelinya. Lama sudah mereka saling bercakap-cakap. Dan Julia ingat akan sesuatu.
''Oh iya, Julia hampir lupa, Bu...,'' teriak Julia.
''Lupa bagaimana? Apanya yang lupa?'' Ibu Julia mencoba bertanya.
''Hari ini kan Julia udah ada janji mau main ke rumah Jeni,''
''Ya sudah mumpung belum sore. Ayo sana ke rumah Jeni,''
''Hehehe, iya bu. Julia berangkat ya...assalamu'alaikum...,''
''Wa'alaikumsalam,''
***
Sesampai di rumah Jeni.
''Sorry deh Jen tadi aku lupa,''
''Yahh, kamu gampang cuma tinggal bilang maaf. Aku, kamu tahu aku itu khawatir tahu sama keadanmu. Jangan-jangan kamu kenapa-kenapa. Eh, tidak tahunya malah lupa, ''
''Jeni..manusia itu kan tempatnya salah dan pelupa. Masa sih kamu ngga mau memaafkan kesalahanku. Aku kan sudah jelaskan aku itu lupa. L-U-P-A, '' Julia mengeja agar Jeni dapat mengerti.
''Ya sudahlah. Sebenarnya aku ngga marah kok. Aku cuma kecewa aja,'' ucap Jeni.
''Kecewa?'' Julia kaget.
''Iyya, '' jawab Jeni datar.
''Jeni, maafin aku,'' Julia memelas.
Belum sempat menjawab Mama Jeni, Ibu Linda menyambut Julia dengan muka berseri-seri lalu berkata, ''Julia...sudah lamakah kamu ada di sini. Mau main ke sini kok ngga bilang-bilang tante. Kalau seperti ini kan tante jadi tidak sempat menyiapkan sesuatu buat kamu,''
Julia tersenyum lalu beranjak berdiri melangkan kaki menuju tante Linda. Lalu mencium tangannya. Tante Linda membelai rambut Julia. 
''Tante, terima kasih tante. Tante udah baik sama Julia. Sebenarnya sambutan hangat tante juga sudah cukup membuat hati Julia bahagia tante,'' ucap Julia.
Julia memandang Jeni ''Iyya, Julia berterima kasih pada tante Linda dan juga Jeni. Jeni udah baik banget pada Julia. Sampai rela nungguin Julia. Sampai-sampai khawatir karena Julia tak kunjung datang,''
Jeni yang semula menundukan kepala sekarang memandang Julia, ''Kamu, ngga salah Julia. Aku yang salah. Tidak seharusnya aku kecewa sama kamu. ''Maafkan aku Julia,''
Serentak Julia dan Jeni saling memandang. Mereka berkata, ''Sahabat, akan memaafkan kesalahan sahabat yang lain,''
Mereka tersenyum dan tertawa hingga akhirnya mereka berpelukan.
Tante Linda sudah ke belakang semenjak Julia meminta maaf kepada Jeni.
''Julia, ada satu hal yang ingin aku sampaikan padamu,''
''Oh ya? Apa?''
''Kamu sudah tahu belum kalau Pak Hendra itu ngga marah sama kamu?''
''Yang bener? Masa? Kok kamu bisa tahu. Aku ngga percaya...,''ucap Julia dengan nada ingin tahu.
''Ya..ya..ya..OK lah kalau kamu tidak percaya sama aku. Tak apalah,”
''Jeni...,'' ucap Julia kesal.
''Heh, iya Julia manisku. Kemarin aku bertemu dengan Pak Hendra. Terus beliau nanyain kamu. Menanyakan Julia akhir-akhir ini jarang bantu -bantu bapak. Beliau berpesan kalau aku bertemu kamu. Aku suruh bilang sama kamu kalau kamu dinanti-nantikan sama Pak Hendra. Gitu.., ''
''Yesssss,'' Julia beranjak lalu berteriak ''Akhirnya aku dapat tahu ibu kandungku, Jeni,''
''Aku turut bahagia kalau kamu bahagia Julia, '' Jeni memeluk tubuh Julia.
Setelah tahu kalau Pak Hendra masih memberi kesempatan padanya. Hati Julia berubah menjadi bahagia. Julia bahagia karena ini berarti pertanda semakin dekat untuk mengetahui sebenarnya siapa ibu kandungnya. Teramat bahagia air matanya jatuh membasahi pipinya. Julia menangis akan kebahagian. Selama belasan tahun ia menanti. Selama belasan tahun ia menunggu belaianmu. Selama belasan tahun ia ingin bermanja-menja penuh kasih sayangmu. Wahai ibunda Julia. Julia ingin memelukmu.
Sejak saat itu kini Julia lebih lebih leluasa keluar masuk ruangan itu. Ia membantu Pak Hendra mengerjakan tugas-tugas beliau. Walaupun hanya membantu mengetik atau pun menjilid surat-surat. Ia sangat senang. Namun sudah satu minggu Julia mencari buku itu. Tetapi ia belum juga menemukannya. Ia sudah mencari semua buku yang ada di rak tetapi tetap ia tidak menemukannya. Apakah Pak Hendra tahu kalau buku itu sedang di cari olehnya. Sehingga Pak Hendra sengaja menyembunyikannya. Tetapi untuk apa Pak Hendra menyembunyikan buku itu. Untuk apa Pak Hendra menghalangiku mencari tahu siapa ibu kandungku. Tidak mungkin Pak Hendra menyembunyikan buku itu, pikirnya. Lantas siapa kalau bukan Pak Hendra. Ataukah ada orang lain yang membawanya atau meminjamnya. Tetapi apakah mungkin bukannya semua buku-buku yang ada disini tidak boleh dipinjam. Julia masih bingung dengan pertanyaan-pertanyaan yang kini bersarang dibenaknya.
''Aku bingung Jen...,'' ucap Julia pada Jeni saat mereka sedang duduk santai di kantin.
''Udahlah, ambil positifnya. Mungkin Allah belum mengijinkan kamu tahu siapa ibu kandungmu, '' Jeni mencoba menghibur Julia.
''Allah memang telah merencanakan sesuatu yang terbaik untuk hamba-Nya, '' Julia mencoba bersikap sabar dan tegar.
Setiap hari ia menjalani seluruh aktifitasnya ia mencoba untuk bersikap tegar. Karena lebih baik mencoba tersenyum. Baginya masih banyak orang yang sayang yang ingin melihat Julia tersenyum gembira. Kenapa aku mesti sedih, pikirnya.
Pada suatu saat di ruang ia bersama Pak Hendra. Ia ketahuan tengah sibuk mencari-cari. Pak Hendra pun bertanya sedang mencari apakah Julia. Julia bingung. Apa yang harus ia katakan. Tetapi akhirnya ia berbohong. Ia berkata kalau ia tengah melihat-lihat buku. Di hatinya terjadi penyeselan kenapa ia tidak jujur saja pada Pak Hendra. Mungkin Pak Hendra bisa membantunya. Tapi sudahlah tidak baik menyesali sesuatu yang telah terjadi.
***
Hari ini Julia pulang lebih awal karena sekolah Julia akan mengadakan rapat komite. Julia sebenarnya sudah ada acara, yaitu mengunjungi pameran buku di Gedung Pertunjukan di kotanya bersama teman-teman. Tetapi, ia di sms oleh Pak Hendra kalau hari ini beliau tidak bekerja. Sebenarnya tetap bekerja tetapi di rumah tidak di kantor. Jadi kalau Julia hendak bantu Pak Hendra. Julia harus berkunjung ke rumahnya. Di benaknya kenapa ia tidak mencoba berkunjung ke rumah Pak Hendra dan membantunya. Lagipula janji pada teman-temannya mengunjungi pameran juga sore. Sebenarnya sudah lama ia ingin bersilaturahmi ke rumah Pak Hendra. Ia ingin tahu keramahan anak dan istrinya. Apakah sama ramahnya seperti Pak Hendra ataupun lebih ramah. Ingin sekali rasanya ia sekedar berjabat tangan dengannya.
Julia segera menuju tempat parkir. Tempat dimana ia memarkirkan sepedanya.
Julia mengayuh sepedanya dengan kencang. Ia begitu bersemangat karena harus memanfaatkan waktu seefektif mungkin. Ia tak ingin di perbudak oleh waktu. Benar saja baru lima belas menit ia sudah sampai di depan rumah Pak Hendra.
Julia mengetok pintu lalu mengucapkan salam ''Assalamu'alaikum''
''Wa'alaikumsalam,'' terdengar jawaban salam dari balik pintu. Seseorang tengah membukakan pintu, seorang anak kecil tampak mengenakan baju biru. Pandangan matanya begitu sejuk.
Julia mencoba bertanya, ''Adik manis, pasti namanya Diesya..,''
Anak kecil itu tersenyum sambil berkata, ''Kok, mba yang cantik tahu namaku,''
''Iya dong, kan Ayah adik manis yang memberi tahu,'' Julia menjelaskan.
Julia dipersilahkan masuk olehnya dan duduk. Melihat ruangan itu begitu menyejukkan hati. Sederhana tapi indah. Barang-barang hasil karya Pak Hendra diletakkan seperspektif mungkin. Terasa memanjakan setiap mata memandang.
''Mba..tunggu dulu ya. Aku mau panggil Ayah,''
Julia mengangguk. Deisya ke belakang memanggil ayahnya. Julia memandang hiasan yang ada di dinding. Sangat indah. Seketika Julia terkejut saat melihat susuatu yang ada di meja pojok itu. Ia melihat buku yang selama ini ia cari. Julia langsung beranjak dari kursinya dan menuju meja itu. Buku itu di dapatkannya segera ia membuka isi buku itu. Setiap halaman ia baca, tidak ada, ia masih masih mencoba tetap tidak ada. Buku itu sangat tebal. Ia tidak sadar kalau ternyata Deisya dan Pak Hedra belum juga datang. Yang ia pikirkan adalah mencari tahu dari buku itu. Sudah sampai halaman 96, tetapi ia belum juga menemukannya. Tiba-tiba terlintas di fikirannya. Apakah memang benar-benar ada namaku di buku ini. Tetapi kalau memang ada kenapa sampai sekarang belum ketemu. Tapi ini juga masih seperempat halaman masih tiga perempat halaman yang belum ia baca.
''Julia...,'' seseorang memanggil Julia dari belakang.
''iyaa,'' jawab Julia gugup.
''Maaf ya bapak lama tadi bapak habis membeli makanan di warung, '' Pak Hendra meminta maaf.
''Oh, tidak apa-apa bapak,''
''Terima kasih, Julia...Silahkan duduk,''
Julia duduk kembali ke kursi tempat duduknya tadi. Julia masih memegang buku yang tadi. Pak Hendra menanyakan kepada Julia kenapa buku itu ada pada Julia. Julia hanya bisa menjawab tadi ia melihat buku itu dan kelihatannya menarik. Oleh karena itu, Julia mengambilnya dan ingin membacanya. Pak Hendra sebenarnya tidak marah cuma ingin tahu saja. Waktu telah menunjukan jam 4 sore. Julia segera pulang. Sebelum pulang, ia menyempatkan diri untuk meminjam buku itu. Dan Pak Hendra mengijinkannya.
Di kamar, Julia tengah memulai aktivitas seperti di rumah Pak Hendra, mencari namanya. Kali ini ia sudah mencapai halaman 254. Tapi ia tidak putus asa. Ia tetap mencari. Dan saat mencapai halaman 263, Julia tersentak kaget. Ia menemukan namanya Anugrahira Julia. Jarinya menyentuh tulisan itu. Bergeser ke kanan , Anugrahira Julia ayah bernama Surya Wijaya dengan Ibu bernama Prahesti Linda. Julia kaget sangat kaget dan bingung. Tangannya menutupi mulutnya, tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Julia masih terpaku memandang tulisan itu. Namanya memang tertulis. Tetapi yang belum ia percaya adalah nama orang tuanya. Ia kaget karena nama itu. Nama mama dan papanya Jeni. Julia bingung apakah tulisan itu benar kenyataannya. Tetapi tidak mungkin salah buku itu telah menghimpun banyak nama disana melibatkan banyak orang. Julia menatap buku itu lalu menutupnya. Ia sekarang percaya kalau dia memang benar anak kandung mama dan papa Jeni. Julia sangat senang bisa mengetahui siapa orang tua kandungnya. Tetapi, Julia tiba-tiba bersandar di meja. Kenapa ayah dan ibu kandungnya tega menitipkan dia ke panti asuhan. Apa karena terlalu sibuk. Sehingga sampai-sampai anak sendiri tidak penting.
Julia berkata ''Bicara apa sih aku. Tidak mungkin mereka tega membuangku. Mungkin saja aku hilang. Terus di temukan oleh pemilik panti. Iyaa. Lagipula kenyataannya mereka sangat baik dan sayang sama aku. Buktinya setiap aku bermain ke rumah Jeni mama selalu membelaiku.''
Julia baru menyadari selama ini saat ia dibelai oleh mama Jeni. Ia merasakan ada getaran layaknya seorang ibu membelai anak kandungnya. Rasanya ia merasa nyaman saat berada di sampingnya. Sunngguh ia merasa sangat bahagia hari ini.
Pagi ini, Julia berangkat sekolah. Ia bersemangat sekali. Ia ingin cepat-cepat memberi tahu Jeni. Kalau ia sudah tahu siapa orang tuanya.
Julia sampai di sekolah. Ia baru sampai di halaman sekolah saat ia melihat Jeni turun dari mobil. Jeni melihat Julia. Julia melambaikan tangannya. Namun Jeni diam saja. Mukanya seolah-seolah tidak melihatnya. Julia bingung. Apakah Jeni marah dengannya. Tapi terakhir kali memangnya aku melakukan kesalahan apa, pikir Julia. Lama Julia termenung memikirkan hal itu. Tanpa disadari Jeni sudah memasuki ruangan. Julia sadar. Ia lalu berlari menuju ke kelas.
Di kelas hari ini, Jeni tidak duduk sebangku dengan Julia. Julia tahu kalau Jeni sedang marah padanya. Ia sempat menyapanya lagi di kelas. Tetapi tetap sama. Jeni masih saja diam. Julia bertanya apa kesalahannya,  sehingga ia marah sampai tidak mau bicara. Jeni lagi-lagi tidak menjawab, malah beranjak lalu pergi ke luar. Julia sangat sedih. Kenapa Jeni marahnya seperti itu. Tidak seperti biasanya. Jeni kalau marah pasti mau memberi tahu apa yang membuat ia marah. Sedangkan hari ini. Ia hanya diam. Julia khawatir apakah sangat besar kesalahannya. Sehingga Jeni tidak ingin lagi berbicara padanya. Padahal, sahabat...hari ini Julia ingin sekali bercerita kebahagiannya. Ia ingin memberi tahumu siapa ibu kandung yang selama ini ia cari. Sahabat...kenapa seolah-seolah kamu menolak tidak ingin mendengarkan ceritaku. Ia sedih, teramat sedih. Ia tidak ingin ketika ia tahu ibunya sahabatnya justru menjauhinyanya. Julia ingin sekali bisa berbagi kebahagian dengannya.
Hari berikutnya...
Jeni masih tetap tidak mengeluarkan sepatah kata pun kepada Julia. Jeni telah membuat Julia semakin bingung. Akhirnya Julia mencoba untuk menghargai kemarahan Jeni. Julia berpikir mungkin kalau udah beberapa hari marahnya Jeni akan reda. Semoga saja begitu. Seminggu kemudian...
''Eh, tahu tidak Jeni sudah pindah dari sekolahan ini?'' tanya Rani teman sekelas Julia
''Jeni pindah? Ngga mungkin!'' Julia tidak percaya.
''Iya, awalnya aku juga kaya kamu. Tidak percaya. Tapi setelah aku telepon Jeni. Ternyata benar.''
''Pindah kemana?'' Julia panik.
''Katanya sih ke Jakarta. Berangkatnya pagi ini,''
Julia langsung mengambil tasnya lalu pergi ke luar. Dia berniat pergi ke rumah Jeni. Walaupun ia sendiri rela membolos sekolah. Yang jelas ia ingin bertemu sahabatnya.
Ia mengayuh sepedanya. Kencang sekali. Sampai-sampai hampir menabrak kendaraan di depannya atau orang yang sedang berjalanan. Tetapi ia tidak peduli. Hatinya kacau dan panik. Bagaimana mungkin sahabat sendiri tidak memberitahunya kalau dirinya akan pindah sekolah. Julia terus mengayuh. Ia harus sampai di rumah Jeni sebelum Jeni pergi. Ia berharap Jeni dapat membatalkan niatnya. Julia tidak ingin berpisah dengan Jeni. Apalagi sebelumnya Jeni marah sama Julia. Julia belum sempat minta maaf.
Akhirnya Julia tiba di rumah Jeni. Mama, papa dan Jeni sudah siap untuk pergi ke Jakarta. Mereka sudah ada di mobil tinggal menyalakan mesin langsung berangkat. Julia memanggil Jeni.
''Jeni..tunggu dulu Jen...'' ucap Julia lemah.
Ibu Linda membuka kaca mobilnya, ''Julia...maaf Julia, Jeni lagi sakit. Dia katanya tidak ingin bicara''
''Tapi Julia ingin minta maaf sama Jeni'' Julia mulai meneteskan air mata.
''Julia, kamu tidak salah. Kamu tidak usah menangis. Kami buru-buru Julia...''
''Julia akan selalu merindukan Jeni,...''
Julia belum sempat menyelesaikan ucapnya. Ibu Linda sudah menutup kaca mobilnya dan mobil itu melesat pergi. Seolah-seolah pergi tanpa memikirkan seseorang yang ingin ikut pergi dengannya.
''Mama dan papa...'' Julia melanjutkan ucapnya lalu menangis.
Julia menangis karena ia sepertinya tidak dianggap oleh sahabatnya bahkan orang tua kandungnya. Hatinya sangat sedih manakala ia ingin menyampaikan kebahagiannya sahabatnya justru marah dan diam. Lalu pergi tanpa memberitahunya. Julia belum sempat memberi tahu Ibu Linda dan Pak Surya. Kalau sebenarnya ia adalah anak kandungnya. Julia ingin sekali hidup sekeluarga dengan Jeni, mama dan papa. Julia ingin dibelai rambutnya, dimanja-manja. Tapi harapan itu sirna sudah. Sahabat, mama dan papa sekarang telah meninggalkannya. Meninggalkanya tanpa ijin terlebih dahulu. Bahkan, hanya mengeluarkan sepatah kata saja ia tidak mau. Jeni, jujur Julia rela walaupun ucapnya Jeni membuat sakit hatinya. Julia rela asal Jeni mau bicara dengannya. Jangan seperti ini. Pergi tanpa bilang dulu sama Julia. Sungguh ini sangat menyakiti hati Julia. Hatinya bagai luka yang disayat diberi garam. Perih...
Julia terpaku, ia menangis karena sakit rasanya.
''Neng Julia..'' suara dari belakang Julia.
''Jangan menangis atuh. Tidak baik menangis seperti ini. Karena tidak akan merubah semuanya.''
Julia mengusap air matanya. Sebenarnya ingin sekali ia menangis sekencang mungkin. Ingin ia berteriak sekeras mungkin. Melampiaskan kekesalannya.
''Maaf..mbok...''
''Ini ada titipan dari Neng Jeni, untuk Neng Julia,''
Julia langsung mengambilnya lalu akan membukanya.
''Eh, tunggu dulu..jangan dibuka dulu. Tadi Neng Jeni berpesan Neng Julia boleh membacanya asal Neng Julia sudah di rumah. Julia mengurungkan niatnya. Julia tersenyum. Meski di hatinya masih terasa perih yang mendalam.
Julia mengambil sepedanya. Ia pulang...

***
Untuk Julia Sahabatku

Maafkan aku Julia, aku pergi ke Jakarta tidak memberitahumu. Kamu jangan sedih ya...Jujur aku tidak ingin melihat kamu sedih. Aku tidak ingin kamu kesal ataupun marah denganku. Asal kamu tahu, aku juga tidak ingin pergi meninggalkanmu. Aku percaya kamu pasti bisa jalani kehidupanmu. Meski aku tidak disampingmu. Aku tahu kamu itu orang yang kuat.
Oh, ya maaf juga ya. Beberapa hari yang lalu, aku ngga mau ngomong sama kamu. Sebenarnya kamu ngga salah apa-apa. Aku sebenarnya ngga bermaksud membuat kamu sedih. Karena aku sedih kalau aku dan kamu terus saling bicara, bercanda, itu akan membuatku tidak sanggup pergi. Lebih baik aku tidak berbicara sepatah katapun kepadamu.
Ada suatu hal yang belum aku ceritakan kepadamu Julia. Ini menyangkut orang tua kandungmu. Maaf sebelumnya. Julia aku akui aku memang salah kepadamu. Sebenarnya aku sudah tahu sejak lama, Julia kalau kamu itu anak kandung mama dan papa. Aku tahu dari sejak awal aku diangkat oleh mereka menjadi anak. Pada waktu itu aku sempat menanyakan pada mama kenapa mama mau mengangkat aku sebagai anaknya. Lalu mama menjawab kalau beliau mengangkatku karena kalung yang aku pakai. Kalung yang berbandul huruf J. Kalung yang kamu berikan kepadaku sebagai kenang-kenangan darimu. Kata mama, mama belum sempat memberi nama makanya mama sengaja memberi kalung dengan bandul huru J saat kamu masih bayi. Karena mama berharap siapa saja yang menemukan bayi itu. Memberi nama yang depannya huruf J. Aku kaget. Berarti yang dimaksud anaknya itu bukan aku tetapi kamu. Tapi maafkan aku Julia baru memberitahumu sekarang. Jujur bukan aku bermaksud mengambil orang tuamu untukku. Aku hanya tidak ingin jauh darimu. Pikirku kalau kamu tahu pasti kamu akan selalu bermesraan, bermanja-manja dengan mama. Dan aku, aku tidak punya apa-apa selain kamu. Sekali lagi maafkan aku Julia.
Semoga suatu saat kita dapat bertemu kembali...


Dari Sahabatmu
Jeni

Julia menitikan air mata. Membasahi pipinya. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Ternyata sahabatnya tidak marah dengannya. Dan yang paling membuat Julia bingung ternyata sahabatnya sudah mengetahui terlebih dahulu orang tua kandungnya. Awalnya Julia kesal. Karena untuk apa dia tidak memberitahukannya. Tapi setelah membaca alasannya. Julia mencoba untuk mengerti. Julia paham betul apa yang dirasakan oleh sahabatnya itu. Mungkin kalau dia di posisi Jeni, ia akan bersikap seperti itu.
Lihatlah betapa mulianya Julia. Betapa baiknya ia. Sungguh putih hatinya. Di saat seperti itu ia masih memahami sahabatnya. Yang jelas-jelas sahabatnya memegang sesuatu yang penting tentang dirinya tetapi merahasiakannya. Selama belasan tahun Julia ingin dibelai, disayang oleh ibu kandungnya. Dan selama belasan tahun sahabatnya sudah mengetahuinya. Tetapi baru saat ini Julia tahu. Bukan dari sahabatnya tetapi oleh tekadnya.
Julia masih termenung..
Pikirnya, kenapa Jeni pergi ke Jakarta. Kenapa karena kesalahannya tidak memberitahukannya dari dulu malah ia pergi. Bukan seharusnya tetap disini. Membujukku untuk memaafkannya. Tapi tadi mama Linda bilang ia harus buru-buru. Dan Jeni sedang sakit. Apakah Jeni benar sakit. Lantas kenapa harus ke Jakarta. Di daerah ini kan banyak rumah sakit dan dokter. Atau jangan-jangan Jeni sakit berat. Tetapi tidak mungkin selama ini aku tidak pernah melihat Jeni mengalami suatu penyakit.
Itulah yang masih membuat Julia bingung. Ia langsung menuju tempat tidur untuk tidur. Pikirnya mungkin lebih baik besok ia menanyakannya kepada Mbok Sumi. Siapa tahu ia mengetahuinya.
Pagi itu Julia sudah berada di depan rumah Jeni yang dulu. Ia membuka gerbang.
''Mbok Sumi ada?'' tanya Julia setelah bertemu Pak Santosa di halaman.
''Ada, Neng. Itu di dapur sedang memasak,'' jawab Pak Santosa dengan logat Sunda.
Julia tersenyum mengangguk lalu menuju dapur.
''Assalamualikum...''
''Wa'alaikumsalam. Neng Julia..tumben ada apa toh?''
''Mbok Sumi ada waktu? Aku ingin bicara sama Mbok Sumi,''
''Oh, ya jelas ada Neng, ayo duduk...''
''Mbok, aku mau tanya apakah Mbok tahu alasan kenapa Jeni, mama...maksudku mama Jeni dan papa Jeni pindah ke Jakarta?''
''Loh..memangnya Neng Julia tidak tahu?''
Julia menggelengkan kepala.
''Begini, sebenarnya Neng Jeni sama Tuan dan Nyonya itu tidak pindah. Mereka sebenarnya hendak mengantarkan Neng Jeni berobat. Neng Jeni sudah lama sakit. Dan harus di bawa ke rumah sakit yang peralatannya canggih. Seperti di Jakarta itu loh,'' Mbok Sumi mnejelaskan.
''Apa mbok? Jeni sakit. Ngga mungkin mbok. Jeni baik-baik aja,'' Julia masih belum bisa percaya.
''Tidak Neng Julia, Neng Jeni sebenarnya sudah lama mengidap penyakit...maaf penyakit leukimia. Kasihan Neng Jeni setiap malam katanya rasanya sakit.''
Julia kaget, tubuhnya lemas. Lemas rasanya. Air matanya jatuh. Lagi - lagi Julia harus menerima kenyataan yang tidak diharapkannya. Sahabatnya terkena penyakit yang mengancam nyawa. Lagi-lagi Julia tahu bukan dari sahabatnya sendiri. Coba kalau Jeni berbagi perasaannya kepada Julia. Mungkin Julia tidak bingung dan sakit seperti ini. Luka  di hatinya sudah mulai kering. Tetapi sudah disayat lagi. Terasa sesak di dadanya. Sakit.... Sungguh ia tidak ingin melihat sahabatnya menderita. Tetapi ia bisa apa? Apakah ia harus ke Jakarta untuk bertemu Jeni? Tidak, tidak semudah itu. Julia menghela nafas.
''Neng Julia baik-baik saja?''
Julia mengangguk dengan menahan rasa sakit hatinya. Lalu pergi ke luar.
***
Akhir-akhir ini Julia lebih banyak diam. Hatinya seolah-seolah tidak ingin Julia senang. Julia menghadapi masalahnya sendiri. Sungguh kenyataan yang menimpanya yang telah membuat Julia sedih. Meskipun hatinya mencoba untuk tegar. Ia mencoba menerimanya. Ia rela orang tuanya terus bersama sahabatnya. Meski dirinya tidak pernah merasakan betapa indahnya diberi kasih sayang oleh orang tua kandung. Julia rela asalkan Jeni, sahabatnya bisa sembuh. Sehingga mereka dapat bermain bersama lagi. Menjalani hari dengan senyuman.
Biarlah waktu yang akan menjawabnya. Semoga Jeni bisa sembuh  agar dapat mengobati luka hati Julia.

Selesai

Followers